Menjadi sebuah industri film yang hidup di Indonesia tidaklah mudah.
Beban yang ditanggung tidaklah sedikit, namun tugas yang dijalankan
tak kurang mulia. Setiap fungsinya berhubungan erat dengan bangsa
dimana ia bernaung. Sebagaimana pribadi seorang manusia melambangkan
asal-usulnya, demikian industri film melambangkan bangsanya.
Meski tak punya beban untuk menjadi seperti industri film mana pun
di dunia ini. Film Indonesia tetaplah harus tumbuh dan mencari
inspirasi tentu tidak ada salahnya. Tapi Hollywood, rasanya tidak
terlalu aplikatif. Beberapa industri film serumpun yang memiliki
nilai-nilai serupa telah lebih dahulu lepas landas dan mencapai
ketinggian maksimum. Mereka telah dicintai masyarakatnya sendiri dan
dunia. Merekalah industri film India (biasa disebut Bollywood) dan
industri film Hongkong.
Kemiskinan, kepadatan penduduk, bencana alam dan konflik adalah
hal-hal yang tak bisa lepas dari perbincangan tentang India. Tapi ada
satu hal lagi yang tidak pernah dilupakan dunia tentang negara itu;
Bollywood. Merupakan sebutan non-formal bagi industri film yang
berbasis di kota Mumbai, India. Produk-produk Bollywood merupakan
proyek-proyek milyaran dollar dan beberapa diantaranya adalah biaya
produksi terbesar di dunia.
Sebagai bagian dari sebuah negara besar seperti Cina, Hongkong hanya
kebagian wilayah 1104km2. Sumber daya alam dan sumber daya manusia
mungkin menjadi masalah untuk membangun industri perfilman. Tapi
kenyataannya industri perfilman Hongkong tetap berkembang.
Pengaruhnya menyebar hingga ke Hollywood.
Hingga saat ini, puluhan produk dari kedua industri ini telah
menjadi langganan dalam nominasi penghargaan film internasional. Apa
yang menjadi kunci keberhasilan mereka dalam mempengaruhi industri
film dunia? Identitas adalah jawabannya. Kedua industri ini berdiri
tegap dibalik identitas bangsa dan masyarakatnya. Hal yang sama juga
dapat menjadi jawaban dari pertanyaan; Mengapa film Indonesia harus
tetap ada? Untuk menampilkan identitas bangsa.
Apa yang dapat menjadi identitas bangsa Indonesia saat ini?
Politiknya telah keruh oleh korupsi, alamnya telah semakin rapuh dan
rusak, perekonomiannya telah tenggelam oleh hutang. Film adalah salah
satu harapan karena merupakan bahasa seni-budaya yang digemari dan
mudah dimengerti oleh siapapun. Naskah-naskah film akan mengemas
permasalahan bangsa ini menjadi cerita menarik kaya makna dan
identitas bangsa mengalir dari sana. Berikut adalah beberapa unsur
yang harus diperhatikan oleh industri film Indonesia dalam mengusung
identitas bangsa.
Siluet, palet warna dan
gelombang suara
adalah hal-hal yang diterima indera kita dari suatu
tempat dan tidak kita temukan ditempat lain adalah identitas awal
yang harus ditemukan.
Apa yang muncul dalam benak ketika kita berbicara tentang India?
Kubah Taj Mahal yang megah, wanita dengan ukiran mehdi
ditangannya, kuil-kuil Hindu, dan sebagainya. Siluet India dapat
dengan mudah tergambar disana. Palet warnanya adalah merah, hijau,
kuning, jingga dan biru mentah yang mewakili aneka warna kain sari
dan sindur yang tak pernah lepas dari kehidupan masyarakat India.
Gelombang suaranya adalah tabuhan gendang, alunan suling India yang
khas, serta mantra-mantra para pendeta Hindu. Kira-kira demikian
contohnya.
Sudahkah film Indonesia menemukan bentuk, palet warna dan gelombang
suara? Berbagai riset mungkin perlu dilakukan, tapi tidak ada yang
lebih akurat dari rasa seseorang yang pernah 'mengalami Indonesia'.
Para sineas hanya perlu memejamkan mata, menajamkan rasa dan bertanya
pada diri sendiri; Apa yang muncul dalam benak ketika berbicara
tentang Indonesia? Stupa Candi Borobudur, suara adzan yang menggema,
pasar apung di sungai-sungai Kalimantan, alunan seruling Sunda, pria
bersarung di dalam pos ronda, dan seterusnya, bisa menjadi dasar
perumusan bentuk, palet warna dan gelombang suara.
Film
adalah cermin
budaya. Saat mengusung identitas bangsa,
kejujuran merupakan unsur penting. Dalam kasus industri film
Indonesia, fiksilah yang harus menggaris-bawahi ini. Perlukah
berbikini ria saat scene berlibur di pantai? Sementara pada
kenyataannya sebagian besar orang Indonesia berpakaian lengkap saat
bermain di pantai. Perlukah kisah-kisah dengan set di luar negeri?
Sementara hanya segelintir masyarakat Indonesia yang memiliki Paspor.
Bagaimana identitas bangsa dapat terkuak dengan semua kebohongan itu?
Film adalah gambaran hidup masyarakatnya. Industri Bollywood tak
pernah melupakan upacara-upacara Hindu karena hal itu melekat pada
hidup sebagian besar rakyat India. Film-film Hongkong hampir tak
pernah jauh dari tempat perjudian karena memang permainan kartu dan
segala jenis taruhan ada dalam budaya berkumpul orang Cina. Film-film
Asia seharusnya tak lepas dari konflik-konflik keluarga, karena
memang besar sekali peran keluarga bagi semua rumpun di Asia.
Teknologi dan ilmu pengetahuan adalah keunggulan negara-negara
barat, apa istimewanya jika kita juga mengulas hal yang sama? Fokus
pada apa yang kita miliki adalah dapat menjadikan sebuah industri
kuat, ketidak-jujuran hanya akan mengaburkan pandangan dunia atas
identitas bangsa.
Film sebagai pernyataan bangsa.
Siapapun tahu bahwa Perang Vietnam melawan Amerika
(1959-1972) dimenangkan oleh Vietnam. Tapi tidak demikian menurut
film Rambo 'First Blood' (1982) dan Rambo 'First Blood Part 2'
(1985). Dalam kedua film produksi Hollywood itu seorang tokoh bernama
John Rambo menjadi pahlawan bagi negaranya (Amerika Serikat) dan
dunia, dengan mengalahkan sejumlah besar tentara Vietnam seorang
diri. Aksi-aksi heroik Rambo menyihir dunia dan mengaburkan kenyataan
bahwa Amerika Serikat telah kalah dalam perang tersebut.
Film 'New York' (2009) dan Film 'My Name Is Khan' (2010) produksi
India adalah pernyataan kebenaran oleh orang-orang Muslim India yang
bermukim di Amerika Serikat atas perlakuan-perlakuan tidak adil yang
mereka alami setelah kejadian “11/11”. Kedua film ini mampu
membuat penduduk dunia mengganti kacamata mereka dalam memandang aksi
teror tersebut. Ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah film
berhasil menyuarakan apa yang ingin dikatakan oleh bangsanya.
Sejauh ini, film Indonesia baru sampai pada level 'berbisik' saat
berbicara atas nama bangsa. Suara yang cukup keras terdengar hanya
bersifat nasional, hanya bergerak pada isu antar agama, antar suku,
antar golongan, dan kritik terhadap pemerintah. Film BATAS (2011) dan
'Tanah Surga Katanya' (2012) hanya mampu melelehkan air mata dan
memancing nasionalisme. Film 'Minggu Pagi di Victoria Park' (2010)
hanya mengungkap masalah tanpa solusi. Bahkan beberapa film Indonesia
berhasil memenangkan festival internasional hanya karena berani
menonjolkan dua konten sexy diindustri hiburan, yaitu asusila
dan kemelaratan.
Lebih dari itu industri ini harus menyuarakan sesuatu sebagai
pernyataan sikap bangsa ketika budaya kita dicuri, sumber daya kita
dikuras atau ketika globalisme membuat kita mati pelan-pelan. Bukan
berarti tidak ada film Indonesia yang menyuarakan hal-hal tersebut.
Tapi jika dunia internasional tidak tersentak dan masih adem-ayem
saja, maka mungkin suaranya 'kurang jelas' atau 'kurang keras',
bukan?
Film sebagai penyambung hidup rakyat. Salah
satunya adalah dengan cara regenerasi insan perfilman. Semakin deras
arus regenerasi insan perfilman berarti semakin banyak kepala yang
merumuskan identitas bangsa. Semakin sedikit insan perfilman, maka
identitas yang dirumuskan, bisa jadi, hanya berdasarkan pemikiran dan
kepentingan segelintir orang. Industri film Indonesia punya banyak
pekerjaan rumah dalam hal regenerasi. Peran utama dalam sebuah film
bisa saja dihiasi wajah-wajah baru, tapi para pemeran pembantu, yang
kebutuhannyalebih banyak dari pemeran utama, diisi oleh wajah yang
itu-itu saja. Satu orang aktor, dalam setahun bisa bermain dalam
lebih dari dua film dengan jenis peran yang mirip. Misalnya; di film
A sebagai Bapak, di film B sebagai Paman, dan di film C sebagai Pak
Guru. Sangat membosankan.
Selain menemukan, film juga dapat memberikan identitas baru
bagi bangsa. Masih segar di ingatan kita bagaimana film Laskar
Pelangi (2008) mengubah sebuah retuntuhan tambang timah , menjadi
objek wisata bertaraf internasional baru. Kita berharap akan muncul
lebih banyak pulau beruntung seperti Belitong, terangkat
keberadaannya melalui sebuah film.
Manusia tanpa kartu identitas, jangankan berpengaruh, didengarkan
saja tidak. Film Indonesia memiliki kesempatan bicara dimata dunia.
Tapi sebelumnya, ia harus menemukan identitasnya dahulu, jika tak
ingin diabaikan sepanjang eksistensinya.
**********
Tidak ada komentar:
Posting Komentar