Hujan menyirami kota Jakarta sore ini dan aku masih berada dalam ruangan kantorku yang berantakan. Namun entah mengapa tubuh dan rasa ini begitu peka dengan guyuran alami ini dan pikiranku terbang pada suatu masa dimana aku begitu menyintai hujan…
Ketika itu aku masih duduk di bangku SMU. Saat itu aku menempati kamar di balkon rumahku. Kamarku adalah satu-satunya ruangan berpenghuni di balkon itu. Kamar itu memiliki jendela besar yang tak pernah kuberi tirai. Pemandangan di luar jendela itu adalah atap-atap rumah disekeliling dan sebuah lapangan rumput kecil di ujung nya. Tidak ada jendela rumah lain yang terlihat dari jendela itu karena kebetulan saat itu hanya rumahkulah yang memiliki balkon.
Rumahku hanya berjarak tidak lebih 500 meter dari pantai. Itulah sebabnya suhu rumah kami sangat panas jika kemarau melanda. Maka ketika musim hujan turun... aku adalah orang yang paling senang... mengingat pemandangan dari balkon jendela kamarku. Atap-atap rumah dan lapangan rumput yang basah adalah milikku... seorang...
Duduk berjam-jam menikmati hujan adalah kesukaanku saat itu. Sering kali aku membuka jendela kamarku lebar-lebar dan memanjat naik untuk menikmati percikan-percikan air hujan. Lain waktu, aku menikmatinya dengan duduk di tepi meja belajarku yang menempel pada jendela dan menulis berbagai hal yang kusuka. Aku juga banyak melewati peristiwa buruk dan pulih oleh gemuruh hujan diluar jendela kamarku. Waktu itu hujan adalah inspirasiku.
Suatu ketika... aku bahkan menulis sebuah cerpen dari pinggir jendela sambil menikmati hujan. Aku masih ingat judul cerpen itu... ’Mari Dengar Kata Hujan’... cerpen itu kemudian dimuat di majalah sekolah dan dinikmati oleh teman-temanku. Menurut mereka cerpenku sangat unik... terutama judulnya. Aku bahkan lupa alur cerita cerpen itu, aku tak mendokumentasikannya setelah terbit di majalah sekolah. Namun yang kuingat jelas adalah... aku menulis cerpen itu untuk menghargai suasana hujan dari balkon kamarku.
Kini... enam tahun sudah aku meninggalkan balkon dan kamar itu. Keluargaku pindah dari rumah itu setahun setelah aku berangkat ke kota ini dan aku tidak pernah lagi kembali ke balkon itu. Begitu banyak hujan yang kualami di kota ini... namun tidak ada yang seindah hujan dari balkon kamarku.
Hujan dikota ini sama dengan kemacetan berjam-jam, hawa pengap di dalam bis kota atau tak lebih dari (hanya) suara gemuruh dari kamar kost ku yang jauh dari jendela. Aku bahkan lebih sering mengutukinya ketimbang menikmatinya. Aku lupa cara menikmati hujan dan segelintir hal-hal kecil yang dulu pandai kunikmati.
Namun ketika aku ingat balkon kamarku... jendela tanpa tirai yang basah oleh air hujan, atap-atap rumah yang mengkilap oleh air hujan dan rumput basah di lapangan kecil itu. Ketika aku ingat langit kelabu yang membentang pada pandanganku, angin kencang yang membentur-benturkan daun jendela kayu itu, dan percikan air hujan yang menerpa wajahku... Ketika aku ingat kekuasaan ku akan suasana itu dulu... aku kembali dapat menyambut hujan dengan tangan terbuka, persis seperti ketika dulu kuulurkan tanganku keluar jendela kamar dan merasakan tetesan air... tersenyum dan bergumam kembali... hujan telah datang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar