Setelah tak satu orang pun akhirnya mampu menemaniku malam ini, aku memutuskan untuk berjalan sendiri dan menikmati sebuah film yang sinopsisnya menarik bagiku. Tak salah lagi, aku pergi menonton film di bioskop sendiri. Hal ini adalah cukup bagiku untuk mendapatkan tatapan aneh dari orang-orang disekitarku, oleh mereka yang datang dengan pasangan, anak, teman dan saudara.
Ini bukan untuk pertama kali nya aku melakukan ini, walau aku tak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya. Dan aku tak akan pernah merasa harus berhenti melakukannya mengingat apa yang ku dapat kemudian.
Up In The Air mungkin bukan kegemaran para pemburu film, ia bukanlah 'motion picture' sehingga aku tak yakin akan mampu menyedot penonton sebanyak 'The Lighting Thief', bukan juga pemacu adrenalin seperti 'The Wolfman' (mereka adalah tetangga UP IN THE AIR di Hollywood KC 21 Theater). Benar saja, kursi penonton terisi tidak lebih dari setengah jumlahnya.
Pada akhirnya aku mengakui bahwa film ini adalah paket yang pas bagiku, setidaknya untuk kupikirkan sepanjang jalan pulang.
Film ini membawaku pada beberapa episode yang tercatat pernah terjadi dalam hidupku, aku menyebutnya 'kesendirian'... walau aku tahu sebagian orang menyebutnya 'kesepian'. Tak banyak yang mengerti perbedaannya, jadi rasanya film ini mampu bercerita sedikit tentang perbedaan 'kesendirian' dengan 'kesepian'.
Film ini membawaku pada beberapa episode yang tercatat pernah terjadi dalam hidupku, aku menyebutnya 'kesendirian'... walau aku tahu sebagian orang menyebutnya 'kesepian'. Tak banyak yang mengerti perbedaannya, jadi rasanya film ini mampu bercerita sedikit tentang perbedaan 'kesendirian' dengan 'kesepian'.
Ryan Bingham adalah cermin sebagian besar orang saat ini. Terjebak oleh filosofi yang mendukungnya (baca:menjebaknya) dalam kesendirian. Ia kemudian cenderung tidak menghargai kesendirian dengan menganggap kesendirian hanyalah alat untuk memudahkan hidupnya. Namun pada suatu masa, pilihannya akan kesendirian lah yang mempertemukannya dengan orang-orang yang menyatakan betapa 'kesepian'nya dia.
Ryan Bingham dan kisahnya membuatku tidak memandang buruk kesendirian dan memisahkan kesendirian itu dengan kesepian. Kesendirian bukanlah berarti tidak memiliki siapapun dan apapun. Kesendirian (singleness) berbeda dengan kesepian (lonelyness). Aku merasa perlu untuk menghargai kesendirian itu dengan melakukannya sebaik mungkin dan penuh syukur. Maksudku adalah, banyak orang disekitarku tanpa harus kuketahui siapa dan apa mereka layak merasakan indahnya dampak dari kesendirianku. Mereka layak mendapat perlakuan baik, senyum terbaik, dan sapaan hangat. Aku tak harus memiliki mereka untuk melakukan yang terbaik bagi mereka. Begitulah seharusnya aku menghargai kesendirian, seperti hal nya yang dilakukan Ryan Bingham di akhir kisah ini.
Lalu bagaimana dengan keluarga, teman, pasangan, kekasih??? Dalam perjalanan pulang, ketika aku mampu menghargai kesendirian itu dengan melakukan yang terbaik bagi diriku dan hidupku, aku merasakan dengan seluruh tubuh dan jiwa ku bahwa mereka (keluarga, teman, kekasih) tidak kemana-mana. Ada atau tiadanya mereka disampingku hanya memberiku kesempatan untuk menghargai kesendirian (singleness). Menghargai aku, diriku, tubuhku, hidupku. Dengan demikian aku akan kemampuanku untuk menghargai mereka akan bertambah. Dan aku tahu bahwa aku tidak kesepian (lonely).
Langkahku terasa lebih ringan, senyum ku lebih mudah teripta ketika aku berjalan pulang. Pasangan dan keluarga yang lalu lalang dihadapanku tak lagi membuatku iri. Jakarta yang macet hingga selarut ini tak mampu menghalangi aku berlari kecil. Menikmati kesendirian yang sangat berharga.
Tulisan ini kubuat untuk menghargai setiap orang tersayangku. Ketidakhadiran mereka memberikanku kesempatan untuk merasa utuh.
I am up in the air!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar