Sebuah minggu siang nan terik yang membawaku pada sepenggal kisah masa lalu bangsaku... Oleh pertemuanku dengan sosok biasa yang mungkin tak dipandang sejarah, namun bagi ku memberi pelajaran berharga tentang arti dari sejarah...
Aku menjejakkan kaki di sebuah rumah mungil di sebuah kawasan yang ku tau adalah pemukiman keluarga angkatan bersenjata negeri ini.... Bukan yang pertama kali aku datang ke daerah ini, namun siapa sangka bawha rumah ini akan menjadi tempat aku belajar dalam hidupku...
Aku telah melihat sosok wanita tua itu saat pintu rumahnya terbuka, tak lama juga bagiku untuk menyadari bahwa ruang tamu itu telah juga menjadi kamar tidur untuk waktu yang lama. Ia menyambut kami dengan senyum sukacita ditengah kerut yang telah menguasai wajahnya... Ibu, begitu aku menyapanya...
Kami lalu larut dalam perbincangan yang tanpa ia sadari telah membuat mata, hati, dan telingaku tertarik untuk mengabadikan perbincangan ini.
Ayahnya dan suaminya adalah bagian dari sejarah negeri ini dan yang membuat wanita ini istimewa bagiku adalah, ia telah menjadi saksi para pejuang itu dan mampu merekam semangat pada jaman itu dalam jiwa wanitanya.
'Bapak saya itu pejuang RI, saya ingat betul... kakek saya yang adalah tentara KNIL sering menurunkan bendera merah putih dari tiang bendera di halaman rumah, namun selalu di naikkan kembali oleh Bapak saya.. Di rumah memang mereka bapak dan anak, tapi diluar mereka adalah musuh.' katanya sambil tersenyum geli mengenang masa itu. "Saya ingat betul suatu waktu di tahun 1945, Bapak saya yang sudah tua memanggil saya sebagai anak paling tua dan mengatakan 'Bapak tidak akan meninggal sebelum Indonesia merdeka, karena itu baik untuk anak mu dan cucu mu'. Dan benar akhirnya Bapak saya menginggal bulan September 1945." cerita itu berhenti dengan kaca di sepasang mata tuanya. Sementara itu dibelahan Indonesia lainnya, seorang pemuda telah bergabung dengan wajib militer untuk merebut kemerdekaan Indonesia, melakukan gerilya dan selamat dari sekian banyak perang menerjang maut.
Ibu lalu jatuh cinta pada pria ini, " Tapi jaman dulu pacarannya ndak seperti jaman sekarang. Jaman dulu kerjaannya nunggu surat dua bulan, deg-degan nunggu kekasih pulang atau sudah meninggal di medan perang." Kami semua tertawa mendengar kisah ini, kami menyadari dimensi waktu yang sama sekali berbeda antar Ibu dan kami. Kami tahu hal demikian dari film-film perang, namun hari ini kami berbicara langsung dengan pelakunya.
Tahun 1957 Ibu menikah dengan pejuang itu, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.
Perbincangan ini kemudian semakin mendalam ketika aku bertanya tentang pengalamannya menjadi istri tentara. "Huah... kenyang ditinggal.." komentar singkatnya ini membuat kami terbahak.
"Yaah... klo ditinggal tugas itu minimal tiga bulan, ndak peduli lai hamil atau baru melahirkan... wess pokoknya ditinggal" katanya sambil memperlihatkan barisan gigi sehatnya yang tak lagi lengkap.
" Suami saya itu angkatan tapi jujur... makanya yaa... cuma ada rumah dinas ini... klo rumah dinas ini diambil yo sudah... ndak ada tempat tinggal lagi."
kami semua terdiam untuk pernyataan ini.
Aku lalu mengalihkan pembicaraan pada sebuah foto yang tergantung didinding, "Itu suami saya, dan itu medali gerilya nya." Katanya sambil menunjuk pada medali yang dimaksudkan. "Wah berarti Ibu selalu ikut upacara detik-detik proklamasi ya di istana?" sambarku.
"Oh iya... tapi suami saya klo ikut upacara disana selalu nangis, dia inget waktu berjuang dulu." katanya sambil berkaca-kaca kembali. "Dulu mah orang jadi tentara untuk bela negara, tapi sekarang kebanyakan orang jadi tentara untuk bela kepentingannya sendiri." katanya sinis.
Ketika pembicaraan kami mengalir pada masa akhir hayat suaminya, wajah tua itu pun semakin sedih. "Suami saya meninggalnya baru tahun 2004, beliau pensiun dengan pangkat yang lumayan tinggi. Tapi karena beliau jujur jadi tidak banyak hartanya. Di sisa umurnya, dia sering mengusap-usap kepala saya dan berkata 'kasihan Ibu, jadi istri Bapak... jadi ndak pernah bisa jadi orang kaya'. Saya bilang, saya ndak pernah minta kaya kok Pak, saya sudah cukup bangga bisa jadi anak pejuang terus jadi istri tentara negara."
"Bapak dan suami saya sudah selesai dengan tugasnya, tapi kenapa yah anak dan cucu saya tetap saja sulit untuk sekedar dapat pekerjaan. Ternyata merdeka saja tidak cukup ya."
Kami semua tak mampu berkata-kata untuk ini...
Aku mengakhiri pertemuan sore itu dengan menyusuri tatapanku pada setiap sudut rumah dinas tua itu. Kesederhanaan yang menyimpan jutaan sejarah dan sejuta harapan. Rasanya lebih nyata dari sekedar menonton film perjuangan dan menyanyikan lagu kebangsaan. Inilah keadaan kemerdekaan itu ditangan para aktor dan para penontonnya. Sejuta pesan yang tak dibangun oleh satu atau dua hari setelah proklamasi. Melainkan dibangun oleh pekerjaan rumah yang tak ada habisnya, diajarkan oleh banyak guru dan diterima oleh begitu banyak murid dari masa ke masa.
Saat kami pamit, Ibu Odelia (begitu namanya) membungkuskan bagi kami begitu banyak banyak pelajaran dan harapan. Kecantikan lawasnya sarat makna, membuat ia begitu berharga di masa ini...
Entah berapa banyak saksi sejarah yang dibutuhkan, untuk membuat sebuah kemerdekaan berharga bagi generasi ke generasi...
Aku telah melihat sosok wanita tua itu saat pintu rumahnya terbuka, tak lama juga bagiku untuk menyadari bahwa ruang tamu itu telah juga menjadi kamar tidur untuk waktu yang lama. Ia menyambut kami dengan senyum sukacita ditengah kerut yang telah menguasai wajahnya... Ibu, begitu aku menyapanya...
Kami lalu larut dalam perbincangan yang tanpa ia sadari telah membuat mata, hati, dan telingaku tertarik untuk mengabadikan perbincangan ini.
Ayahnya dan suaminya adalah bagian dari sejarah negeri ini dan yang membuat wanita ini istimewa bagiku adalah, ia telah menjadi saksi para pejuang itu dan mampu merekam semangat pada jaman itu dalam jiwa wanitanya.
'Bapak saya itu pejuang RI, saya ingat betul... kakek saya yang adalah tentara KNIL sering menurunkan bendera merah putih dari tiang bendera di halaman rumah, namun selalu di naikkan kembali oleh Bapak saya.. Di rumah memang mereka bapak dan anak, tapi diluar mereka adalah musuh.' katanya sambil tersenyum geli mengenang masa itu. "Saya ingat betul suatu waktu di tahun 1945, Bapak saya yang sudah tua memanggil saya sebagai anak paling tua dan mengatakan 'Bapak tidak akan meninggal sebelum Indonesia merdeka, karena itu baik untuk anak mu dan cucu mu'. Dan benar akhirnya Bapak saya menginggal bulan September 1945." cerita itu berhenti dengan kaca di sepasang mata tuanya. Sementara itu dibelahan Indonesia lainnya, seorang pemuda telah bergabung dengan wajib militer untuk merebut kemerdekaan Indonesia, melakukan gerilya dan selamat dari sekian banyak perang menerjang maut.
Ibu lalu jatuh cinta pada pria ini, " Tapi jaman dulu pacarannya ndak seperti jaman sekarang. Jaman dulu kerjaannya nunggu surat dua bulan, deg-degan nunggu kekasih pulang atau sudah meninggal di medan perang." Kami semua tertawa mendengar kisah ini, kami menyadari dimensi waktu yang sama sekali berbeda antar Ibu dan kami. Kami tahu hal demikian dari film-film perang, namun hari ini kami berbicara langsung dengan pelakunya.
Tahun 1957 Ibu menikah dengan pejuang itu, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.
Perbincangan ini kemudian semakin mendalam ketika aku bertanya tentang pengalamannya menjadi istri tentara. "Huah... kenyang ditinggal.." komentar singkatnya ini membuat kami terbahak.
"Yaah... klo ditinggal tugas itu minimal tiga bulan, ndak peduli lai hamil atau baru melahirkan... wess pokoknya ditinggal" katanya sambil memperlihatkan barisan gigi sehatnya yang tak lagi lengkap.
" Suami saya itu angkatan tapi jujur... makanya yaa... cuma ada rumah dinas ini... klo rumah dinas ini diambil yo sudah... ndak ada tempat tinggal lagi."
kami semua terdiam untuk pernyataan ini.
Aku lalu mengalihkan pembicaraan pada sebuah foto yang tergantung didinding, "Itu suami saya, dan itu medali gerilya nya." Katanya sambil menunjuk pada medali yang dimaksudkan. "Wah berarti Ibu selalu ikut upacara detik-detik proklamasi ya di istana?" sambarku.
"Oh iya... tapi suami saya klo ikut upacara disana selalu nangis, dia inget waktu berjuang dulu." katanya sambil berkaca-kaca kembali. "Dulu mah orang jadi tentara untuk bela negara, tapi sekarang kebanyakan orang jadi tentara untuk bela kepentingannya sendiri." katanya sinis.
Ketika pembicaraan kami mengalir pada masa akhir hayat suaminya, wajah tua itu pun semakin sedih. "Suami saya meninggalnya baru tahun 2004, beliau pensiun dengan pangkat yang lumayan tinggi. Tapi karena beliau jujur jadi tidak banyak hartanya. Di sisa umurnya, dia sering mengusap-usap kepala saya dan berkata 'kasihan Ibu, jadi istri Bapak... jadi ndak pernah bisa jadi orang kaya'. Saya bilang, saya ndak pernah minta kaya kok Pak, saya sudah cukup bangga bisa jadi anak pejuang terus jadi istri tentara negara."
"Bapak dan suami saya sudah selesai dengan tugasnya, tapi kenapa yah anak dan cucu saya tetap saja sulit untuk sekedar dapat pekerjaan. Ternyata merdeka saja tidak cukup ya."
Kami semua tak mampu berkata-kata untuk ini...
Aku mengakhiri pertemuan sore itu dengan menyusuri tatapanku pada setiap sudut rumah dinas tua itu. Kesederhanaan yang menyimpan jutaan sejarah dan sejuta harapan. Rasanya lebih nyata dari sekedar menonton film perjuangan dan menyanyikan lagu kebangsaan. Inilah keadaan kemerdekaan itu ditangan para aktor dan para penontonnya. Sejuta pesan yang tak dibangun oleh satu atau dua hari setelah proklamasi. Melainkan dibangun oleh pekerjaan rumah yang tak ada habisnya, diajarkan oleh banyak guru dan diterima oleh begitu banyak murid dari masa ke masa.
Saat kami pamit, Ibu Odelia (begitu namanya) membungkuskan bagi kami begitu banyak banyak pelajaran dan harapan. Kecantikan lawasnya sarat makna, membuat ia begitu berharga di masa ini...
Entah berapa banyak saksi sejarah yang dibutuhkan, untuk membuat sebuah kemerdekaan berharga bagi generasi ke generasi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar