Jumat, 28 Oktober 2011

Menanti Romantisnya Senja Taman Suropati


Setelah hampir dua tahun, akhirnya saya berkesempatan untuk mengunjungi taman ini lagi. Saya sungguh takjub mendapati Taman Suropati sekarang. Bukan hanya secara fisik telah menjadi lebih cantik, namun saya mendapati sebuah taman yang tak hanya 'hidup' dan 'bernyawa', tetapi juga begitu bergairah dan berwarna. Setiap sudutnya memiliki cerita dan fungsi tersendiri yang begitu mendorong saya untuk membahasnya hari ini. Setelah anda membaca tulisan ini dan ingin merasakan apa yang saya rasakan pada sore itu lakukanlah seperti yang saya lakukan. Datanglah pada hari minggu sore karena segala aktifitas puncak Taman Suropati terjadi pada hari minggu sore. Maka hari itu anda akan merasa telah berlibur keluar dari kota Jakarta sejenak.

Saya tiba di Taman Suropati pukul 16.30, yakni saat menjelang senja atau (pada saat itu) menjelang saat saudara-saudara saya berbuka puasa. Langit masih terang, walau matahari tak lagi terik. Hal menarik pertama yang saya dapati adalah ada begitu banyak anak-anak berusia kira-kira 7 tahun keatas sedang belajar bermain biola.

Saya jadi teringat dua tahun yang lalu ketika suami saya mengajak saya ke taman ini untuk belajar biola dan menjadi salah satu murid seorang seniman bernama Batara Pane Sitorus, yang juga teman se almamaternya. Saat itu Bang Batara (demikian ia biasa disapa) menyerahkan saya kepada Mas Arifin, salah seorang muridnya. Demikianlah ternyata metode belajar biola di Taman Suropati pada waktu itu. Seseorang belajar, lalu mengajari juniornya. Demikian seterusnya. Puluhan orang telah menjadi piawai bermain biola oleh karena metode sederhana ini. Saat itu, sementara saya berlatih biola, Bang Batara ternyata bercerita mengenai visinya terhadap Taman Suropati kepada suami saya. Dalam visinya, Ia ingin taman ini memiliki komunitas yang menjadi contoh dalam berkesenian, Ia ingin taman ini dipenuhi orang-orang yang belajar musik dan kesenian lainnya. Hal inilah yang diharapkannya menjadi ciri khas taman ini. Tempat dimana siapapun dapat menemukan dan mempelajari kesenian secara gratis, atas nama kebudayaan. Hari ini, ketika saya kembali disini saya melihat semua itu ada. Visi itu telah mendekati puncaknya.

Pada sudut taman yang pertama saya dapati ada dua kelompok anak-anak sedang belajar bermain biola. Sebut saja kelompok pertama adalah kelas pemula sedangkan yang kedua adalah kelas menengah. Terselip beberapa orang dewasa dalam kelas pemula. Pengajarnya tentu bukan Bang Batara sendiri. Namun dapat dipastikan seseorang yang pernah menjadi murid atau murid dari muridnya.




Saya lalu beranjak kesudut lain yang cukup familiar bagi saya. Tentu saja, karena mereka adalah para senior atau orang-orang pertama yang bergabung dalam Komunitas Taman Seni Suropati. Ada yang bermain chelo, gitar, bongo dan tentu saja biola. Lagu-lagu pop, jazz, sampai keroncong dan langgam mengalun dari permainan alat musik mereka. Pemandangan ini telah ada sejak dua tahun yang lalu. Perbedaannya tentu saja adalah mereka telah menjadi jauh lebih piawai dari dua tahun yang lalu.

Saya lalu bergerak untuk mencari tempat duduk dimana saya dapat lebih leluasa memperhatikan setiap pergerakan di taman itu. Dibagian tengah taman, tempat dimana lebih banyak rerumputan saya melihat beberapa keluarga muda duduk beralaskan tikar kecil. Beberapa orang tua dapat dengan tenang membiarkan anak balitanya bermain diatas rumput. Beberapa orang hanya duduk-duduk membaca buku atau menyaksikan 'tontonan gratis' berupa permainan musik, yang dengan sukarela disuguhkan para anggota Komunitas Taman Seni Suropati. Beberapa anak muda berfoto-foto pada ornamen-ornamen taman. Saya lalu menyadari bahwa ornamen taman ini telah bertambah sedikitnya dua kali lipat dari yang saya jumpai dua tahun lalu. Perbedaan fisik pertama.

Cukup jauh dari para pemain musik, saya mendapati sekelompok anak muda sedang duduk diatas rumput dan mendengarkan seorang diantara mereka berbicara. Mereka lalu bergiliran berbicara sementara yang lain mendengarkan. Dalam waktu singkat (dengan sedikit menguping) saya pun mengetahui bahwa mereka adalah kelompok konseling yang sedang saling memotivasi. Saya lalu dengan cepat menyetujui apa yang mereka lakukan. Pada ruang publik senyaman ini, rasanya saya pun akan dengan mudah curhat, ketimbang diruangan AC, disudut mall mana pun di kota Jakarta ini. Taman ini sungguh mengakomodir kenyamanan sampai pada tingkat itu.

Saya lalu beralih pada sebuah kelompok yang berada cukup jauh dari area biola. Kelompok tersebut hanya beranggotakan tak lebih dari tujuh orang. Yang menarik, semua alat musik yang mereka mainkan adalah alat musik tiup. Lagu-lagu beraliran blues sampai pop pun mengalun dari permainan saxofone, flute, terompet dan klarinet. Dari obrolan suami saya dengan mereka, saya kemudian mengetahui bahwa Komunitas Taman Seni Suropati telah membagi areanya menjadi dua, yaitu area alat musik gesek - petik dan area alat musik tiup. Seorang pria bernama Rama adalah yang paling menonjol memainkan saxophone diantara mereka. Ialah yang dipercaya Bang Batara untuk mengembangkan divisi alat musik tiup di Taman Suropati. Menarik sekali.

Lalu tatapan saya berhenti pada beberapa bagian taman dimana terdapat batu-batu kali yang ditancapkan pada lantai semen. Disanalah saya menemukan perubahan fisik kedua pada taman ini, sesuatu yang tidak ada dua tahun lalu. Yah, seperti idealnya sebuah taman, Taman Suropati kini telah memiliki reflexology track.

Ketika senja tiba dan langit sudah gelap seluruh lampu taman satu persatu menyala. Semua orang berhenti bermain musik dan tiba-tiba semua orang bergerak kebagian utara taman. Ternyata waktu buka puasa telah tiba dan entah siapa yang menyediakan nasi kotak untuk semua orang yang ada di taman ini.
Lalu berbagai diskusi pun mengalir dari pembicaraan santai sambil berbuka puasa. Tak ada lagi pertunjukan. Dan ketika semua orang larut dalam diskusi dan perut masing-masing, adalah waktu yang tepat bagi saya untuk menyusuri Taman Suropati diwaktu malam. Mempelajari hasil karya mereka yang menghias dan mengelola taman ini secara fisik. Siapapun mereka, apakah pemerintah dengan Dinas Pertamanan nya, atau pihak manapun. Satu kalimat; 'Good job'

Malam yang tanpa cahaya matahari ternyata tetap indah di Taman Suropati. Puluhan ornamen disorot lampu dengan begitu dramatisnya. Barisan pohon pun tak luput dari penataan cahaya. Rasanya, mereka telah menambah jumlah lampu dua kali lebih banyak dari dua tahun yang lalu. Perubahan fisik selanjutnya.



Suara kendaraan bermotor pun rasanya redup oleh romantisme taman ini, meski jaraknya dengan jalan raya hanya dibatasi oleh trotoar. Para penjaja minuman hangat berkeliling dengan sepeda. Saya memesan segelas kopi untuk malam yang indah itu. Perbincangan kelompok demi kelompok sayup-sayup terdengar. Pada salah satu sudut dengan lampu sorot , duduk seorang pemuda tengah sibuk menggambar diatas sketsanya yang sedari petang tadi belum selesai. Lampu sorot itulah yang menjadi penerangannya. Sungguh khas sebuah taman seni.

Ketika saya berencana meninggalkan taman itu, tiba-tiba terdengar alunan instrumen lagu 'Unbreak My Heart' dari permainan saxophone Rama. Disaat para pemain musik telah menyimpan alat musiknya dan semua orang kehilangan pertunjukan khas Taman Suropati. Lagu itu begitu memecah suasana. Saya pun bertahan lebih lama dan membiarkan lagu itu menutup malam saya di Taman Suropati.

Sebelum beranjak, saya menyusuri taman sekali lagi dan mendapati ada begitu banyak orang yang makan dan minum. Herannya, sungguh tak ada sampah yang tercecer. Tentu saja, tak ada yang tega melakukannya pada taman ini.

Demikianlah kunjungan terakhir saya ke Taman Suropati telah menjadi begitu istimewa. Mungkin terdengar berlebihan, tapi Anda harus datang dan menikmatinya terlebih dahulu untuk membuktikan bahwa saya salah... Atau benar.

Rasanya, penduduk Jakarta butuh lebih banyak ruang publik seperti ini. Ruang publik yang telah menemukan jatidirinya dalam budaya bangsa. Penemuan akan jatidirinya ternyata membuat taman ini begitu mudah membuat siapa saja jatuh cinta dan kembali lagi untuk menikmatinya.

Arief Budiman, seorang budayawan dan seniman asal Jogja, pernah mengatakan bahwa 'kota yang baik adalah kota yang mampu membuat penduduknya merasa senang dan aman bila berada diluar rumah'. Dan sebagai warga Jakarta, hanya ada sedikit sudut diluar rumah yang mampu membuat saya merasa senang dan aman. Taman Suropati adalah salah satunya.

Tidak ada komentar: