Kamis, 14 April 2011

The Precious Day


Hari ini aku akan bercerita (baca:pamer) mengenai suatu hari dalam hidupku. Pagi itu langit tak terlalu cerah dan tak terlalu mendung. Setelah hujan deras mengiringi doa kami malam sebelumnya, maka hari itu Tuhan melukis langit Jogja sedemikian indah khusus untukku (minimal begitu bagiku). Aku kemudian mengangkat tubuhku setinggi mungkin setelah sekian menit menikmati langit yang rasanya sejauh itu… sesuai dengan doaku.
“Nie, ayo cepet mandi. Udah ditunggu periasnya di rumah Ibu.” Jeritan itu datang dari Mama. Jika tadi kusebutkan bahwa saat itu aku berada di Jogja dan sekarang fakta bertambah dengan hadirnya Mama (untuk pertama kalinya) di kota ini, maka tentulah itu sesuatu yang tidak biasa.

Singkatnya, aku akan menikah di hari itu. Hari ke duabelas yang adalah sabtu kedua di bulan Maret, di tahun ini (2011). Calon suamiku tentu saja orang yang sama dengan orang yang mengemas jendela (blog) ini sedemikian rupa (untuk kemudian aku perlakukan semauku… haha). Namanya Hizkia Subiyantoro, pria yang telah tiga tahun lebih membayangi hidupku dengan visi-visinya dan membuatku punya segudang ‘pekerjaan rumah’ dengan menggali potensi-potensiku. Juga pria yang sama yang mampu membuatku menjadi ‘pemilih kelas tinggi’. Serta pria yang sama yang mampu membuatku tetap ingin hidup bersamanya meski romantisme telah menjadi barang antik untuk kami.

Aku merasa riasanku medok hari itu. Namun ketika semua orang nyaris menjeritkan betapa cantiknya aku (hari itu), aku memilih untuk percaya (hehe..). Ketika lalu melangkah keluar dari rumah Bapak & Ibu Nogo Harun yang dalam waktu beberapa jam kemudian akan menjadi orang tuaku. Langkahku mantap sambil mereka-reka persiapan yang mungkin saja kami lewatkan.

Aku dan Mas Kia diantar dengan mobil BMW (sebut saja mobil pengantin) pinjaman Mas Doni yang telah menemani kami sejak H minus 2. Jika boleh kuselipkan cerita, dua hari tersebut sungguh tak kalah sempurna dengan hari H. Bagaimana tidak? Kami hari pertama mengajak Mama berjalan-jalan keliling Minomartani dan membuat beliau berpikir keras untuk menjadi se-kreatif warga Jogja, hari kedua menjemput tim hore kami (Kak Dame, Kak Gloria, Bang Yo dan surprisingly… Kak Biuti, serta tentu saja Kak Sammy sang Pendeta). Sayangnya, Kak Mei dan Bang Rudy tidak hadir untuk alasan yang… entahlah… Dua hari ini, adalah sulutan yang cukup membuatku bersemangat dengan segala sesuatunya. Dengan semangat itulah , ketika aku berada di mobil pengantin aku menoleh sebentar untuk memastikan mereka real dan benar-benar ada untuk hari besar ini. Oh… tim hore ku!

Hanya sekitar tujuh menit perjalanan dan kami sampai pada sebuah resort pinggir sungai yang kami pilih untuk hari bersejarah ini. Dalam sekejap aku memandang puas hasil rancangan kami yang telah diaplikasikan pada tempat itu. Persis seperti bunga-bunga tidurku beberapa bulan ini. Sederhana namun penuh makna alam.

Sebuah gapura dengan ornamen angsa menyambut kami. Lalu kami melewati sebuah jalan setapak, jembatan darurat dari bamboo hijau segar, sungai yang tidak terlalu deras namun cukup untuk memperdengarkan alunan air nan merdu, pondok-pondok kecil (masih terbuat dari bamboo) yang sepanjang jalur dihiasi dengan pita-pita, juntaian tile, dan banyak bunga segar berwarna sempurna. “Alangkah indahnya…” demikian beberapa komentar yang berhasil tertangkap pendengaranku. Mereka tentu tak akan berhenti disitu, karena diujung jalur itu ada altar yang indah nan elegan bertabur rangkaian bunga putih tempatku mengucap janji nikah. Kemana pandangan teralih telah tersusun meja-meja rotan untuk resepsi kecil dari peristiwa besar itu. Cahaya matahari pagi yang menerobos diantara dedaunan adalah elemen dekorasi utama dari perayaan ini. Uh… sampai hari ini, setiap kali aku membayangkannya, aku hanya ingin ada di pagi itu…. selamanya.

Satu jam sejak kedatanganku (yang diwarnai dengan mati listrik selama setengah jam). Upacara pun dimulai dengan petikan gitar Mas Kia dan nyanyian syukurku. Prosesi dilangsungkan, janji diucapkan, cuaca tak henti-hentinya bersahabat, semua mata bahagia dan terharu… Lalu tiba-tiba aku telah menjadi seorang istri… oleh upacara pernikahan terindah, terbaik dan terdasyat di abad ini (paling tidak bagi kami ;)). Diujung acara, satu hal yang hampir tak dapat kupercaya… bahwa aku mampu melewati hari itu tanpa menangisi keabsenan Papa… sesuatu yang mistis kiriman Tuhan… telah bersamaku melewati hari itu. Apapun yang dikirim Tuhan itu… aku yakin Papa yang memprakasainya. (tersenyum)

Pffft… Kalaupun ada peluh yang harus kami usap… itu adalah peluh perjalanan tiga tahun yang sungguh tak mudah namun justru berakhir dengan awal baru. Kalaupun ada lelah yang kami kenang… itu adalah lelah memperjuangkan sebuah kesederhanaan yang elegan dalam upacara pernikahan kami. Upacara yang semungkin tak semahal upacara yang lainnya namun (semoga) cukup untuk membuat semua yang datang mendoakan kami dengan hatinya dan menyunggingkan senyum saat melangkah dari peristiwa itu. Aku ingat, hari itu… setelah hampir tengah malam, aku mengucapkan selamat ulang tahun untuk pertama kalinya kepada suamiku Hizkia Subiyantoro.

Kini… setelah satu bulan berlalu… bahkan hati, pikiran dan jemariku pun tak cukup untuk menuliskan indahnya hari itu….

Tidak ada komentar: