Kamis, 21 Juni 2012

Jagongan 'ala' Desa Parangtritis


Menghadiri puluhan acara resepsi pernikahan yang dilaksanakan digedung atau tenda dengan selusin AC portable di setiap sudut, mungkin telah menjadi agenda mingguan kita. Saat itu jika ditanya hendak kemana, orang jawa biasa menjawab akan pergi ke 'jagongan' (perayaan). Dalam resepsi pernikahan seperti itu acara biasanya diawali dengan iring-iringan pengantin dan keluarganya. Berbagai ritual adat dilakukan pada momen ini. Setelah rombongan pengantin tiba di pelaminan maka diadakanlah pertunjukan tari-tarian atau pertunjukan formal lainnya dan diakhiri dengan doa. Setelah itu, dapat ditebak, acara makan dimulai. Makanan biasanya disajikan secara prasmanan dan undangan mulai 'sibuk dengan urusan perutnya sendiri'. Sesekali bercengkrama dengan undangan lain yang kebetulan dikenali, berbagi berkomentar ini-itu mengenai kualitas kateringnya dan diakhiri dengan mengantri bersalaman dengan para penghuni pelaminan, sesekali berfoto, dan pulang. Demikian kiranya, sebuah pesta pernikahan terasa sangat membosankan, setidaknya bagi orang-orang seperti saya.

Namun jika kita mengira tipe pesta seperti itulah yang merupakan standar masyarakat Indonesia, maka kita harus berpikir lagi. Akhir minggu lalu saya berkesempatan menghadiri pesta pernikahan ala mereka yang berada dipesisir pantai Parang Tritis. Disanalah saya merasa benar-benar berada di pesta pernikahan rakyat, saya lantas menyadari bahwa berbagai lapisan masyarakat telah menciptakan tata cara nya sendiri, yang sesuai dengan keadaan mereka, termasuk dalam hal pesta. Beginilah kisahnya...
Ketika saya tiba dilokasi pesta ternyata belum dimulai. Seperti tamu lainnya, saya mengisi buku tamu dan menyelipkan amplop. Namun tak ada souvenir, dan tak ada yang menggunjingkan hal tersebut. Perbedaan pertama, saya mulai menyukai pesta ini.



Bangku-bangku logam dengan jok tipis berwarna merah telah diisi oleh keluarga maupun undangan. Saya lantas memiliki kesempatan untuk mengamati mereka yang datang.

Para wanita yang didominasi ibu rumah tangga biasanya datang dengan menggunakan kerudung. Saya mendapati fakta menarik ini berkali-kali pada beberapa pesta pernikahan lainnya. Bahkan mereka yang sehari-harinya tidak memakai kerudung, memakai kerudung pada resepsi pernikahan. Kesan formal yang muncul saat mengenakan penutup kepala, menjadikan kerudung pilihan tepat untuk menutupi rambut yang kurang rapih.




Bagi kebanyakan perempuan desa, salon merupakan barang mewah. Mereka tak mungkin khusus ke salon jika hanya ingin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Sementara tak pernah terpikirkan oleh mereka untuk memiliki hair dryer dan alat catok dirumah, guna mem-blow rambut sejenak, seperti yang banyak dipilih oleh perempuan di kota. Saya lantas mengerti bahwa, secara tidak langsung, tanpa bermaksud menghina fungsinya secara religius, kerudung telah menjadi jawaban bagi sebagian besar kaum wanita yang hidup di desa.

Kaum pria biasanya datang dengan menggunakan peci dan batik yang, sekali lagi, merupakan lambang formalitas. Tidak masalah bagi mereka untuk mengenakan sandal sebagai alas kaki, selama peci dan batik melekat pada kepala dan tubuh mereka. Demikianlah cara mereka untuk menghormati si pemilik acara.



Yang menarik bagi saya adalah, bahkan mereka yang tidak beragama Islam mengenakan peci. Dulu saya mengira bahwa peci merupakan ciri religius. Saya rasa sebagian besar orang Indonesia pun masih menyangka demikian. Namun ternyata saya salah. Suami saya dengan cepat menyanggah, "Coba perhatikan! Apakah orang Arab mengenakan peci?" Mengenakan peci ternyata merupakan sebuah kebudayaan dan pria mana pun di Indonesia berhak mengenakannya. Saya lantas merasa malu telah sekian lama terprovokasi oleh citra yang dibangun orang atas sebuah peci.

Setelah puas mengamati para undangan, perhatian saya tertuju pada panggung kecil sumber segala bunyi-bunyian di pesta itu. Terdapat seorang pemain keyboard, seorang pemain gendang, seorang penyanyi pria dan dua orang penyanyi wanita. Kelompok ini disebut kelompok campursari dan tugas mereka tak lain adalah menghibur. Sejak sebelum saya tiba, lusinan tembang (lagu) telah mereka bawakan guna menemani undangan yang menunggu acara dimulai. Lagu-lagu campur sari mendominasi tembang-tembang yang mereka bawakan, sisanya merupakan lagu pop yang dibawakan dengan irama keroncong dan (lagi-lagi) campur sari.



Kedua penyanyi wanita, sebagaimana yang saya temui di berbagai pesta pernikahan sebelumnya, mengenakan kebaya dengan dalaman korset ketat, menata rambutnya dengan sanggul komtemporer dan menggunakan make-up cukup tebal namun tetap menarik. Mereka berdandan lumayan 'heboh' namun citra yang muncul harus berbeda dengan pengantin wanitanya sendiri. Tipe suara mereka sangat mirip sinden karena memang sebagian besar dari mereka juga dapat berperan sebagai sinden dalam pertunjukan wayang.

Penyanyi pria harus memiliki minimal tiga fungsi dalam satu suatu acara jagongan, yaitu sebagai penyanyi, pembawa acara dan sekaligus pelawak. Dalam banyak kasus, sebuah kelompok campur sari dapat demikian naik pamornya oleh karena kepiawaian para penyanyi dan MC-nya dalam memancing gelak tawa.

Kelompok campursari seperti ini merupakan satu dari dua pertujukan yang bisa dipilih untuk sebuah pesta pernikahan.Keberadaannya yang kini hanya menggunakan dua alat musik saja (keyboard dan gendang) lagi-lagi berangkat dari alasan efisiensi. Biaya yang dibutuhkan untuk menanggap (menampilkan) kelompok seperti ini juga bervariasi, sekitar 3-10juta rupiah, tergantung pada jam terbang dan popularitas kelompok tersebut. Dahulunya, sejumlah alat musik tradisional seperti gamelan dkk harus dibawa serta dalam pementasan. Suatu hal yang tentu saja memakan biaya cukup besar.

Kini kelompok campursari biasanya hanya membawa gendang sedangkan ritme alat musik lainnya direkam dalam disket dan diputar melalui keyboard. Hal ini tentu saja tidak dapat diterapkan dalam pementasan wayang. Alhasil terdapat perbedaan biaya yang cukup besar antara dua pertunjukan tradisional ini. Mereka yang memiliki status sosial dan kemampuan ekonomi cukup tinggi biasanya lebih memilih menanggap seorang dalang dan kelompok wayangnya dengan kisaran biaya 20-100juta rupiah (tergantung jam terbang) untuk sekali tampil. Nah, dengan demikian, sepertinya beberapa kalangan harus berhenti menganggap remeh kemampuan finansial para penduduk desa.



Setelah cukup lama menunggu, akhirnya tampak rombongan pengantin berjalan mendekati lokasi resepsi. Musik campur sari berubah haluan menjadi musik uyon-uyon yang lebih lembut dan formal, pembawa acara pun menghentikan kelakarnya dan menggantinya menjadi kalimat-kalimat formal. Kali ini yang saya temui adalah pengantin dengan kostum Jawa dodotan. Iring-iringan pengantin diikuti oleh orang tua dan saudara-saudaranya kemudian berhenti beberapa meter dari pelaminan untuk melakukan ritual adat semacam injak telur, membasuh kaki dan sebagainya. Lalu iring-iringan berjalan kembali sampai pelaminan dan melakukan beberapa ritual kembali.



Uniknya semua ritual itu hanya bergantung dari arahan satu orang yaitu ibu paes (perias) yang sedari tadi mendampingi pengantin. Baik pengantin, orang tua dan seluruh iring-iringan tiba-tiba tunduk pada arahan sang perias. Dengan otoritasnya sebagai (mungkin) satu-satunya orang yang mengerti adat dan ritual pernikahan, Ibu Paes ini juga, terlihat lebih leluasa untuk berjalan kesana kemari, melintasi pelaminan dan keluarga demi mengatur apa yang dianggap 'pantes' secara adat.


Saya mendapati hal ini sangat unik sebab ada jutaan orang tua menginginkan ritual adat yang lengkap khas Jawa, juga terdapat banyak pemangku adat, namun hanya satu orang perias mampu memiliki otoritas dan pengetahuan tak terbantahkan dalam sebuah resepsi pernikahan. Tak ada buku, kitab atau panduan tertulis lainnya. Hanya serangkaian ritual yang demikian sering diulang dan akhirnya dinyatakan sebagai pakem. Seluruh ritual pun selesai dan selesai sudah tugas sang perias.



Acara kembali berubah format menjadi tidak formal. Lagu-lagu berubah menjadi campursari kembali dan para undangan mulai menghampiri pelaminan untuk bersalaman dan berfoto. Namun berbeda dengan pesta-pesta dikota, sampai dititik ini tidak ada hidangan prasmanan tersedia. Sejak tiba ditempat tadi seluruh undangan dan keluarga disuguhi teh manis hangat dalam gelas kecil, lengkap dengan tutup gelasnya. Lalu saat pengantin tiba di pelaminan, seluruh undangan dibagikan sekotak penganan berisi dua jenis kue, sebungkus kacang bawang dan sebungkus emping goreng.



Segera setelah acara menjadi tidak formal kembali, pembawa acara mulai menyebutkan istilah 'piring terbang'. Saya mengira itu merupakan ritual lainnya. Lalu muncullah pemuda-pemuda desa berseragam batik mengangkat sejumlah nampan tinggi-tinggi diatas kepala mereka, peristiwa yang sekilas memang layak disebut 'piring terbang'. Nampan-nampan tersebut berisi berpiring-piring nasi, lengkap dengan tiga macam lauk, buah dan kerupuk, dibagikan kepada setiap undangan. Benar sekali, tak ada petugas katering. Keluarga dan ibu-ibu desa setempatlah yang memasak untuk makan siang hari itu, sedangkan para pemuda pria yang bertugas menyajikannya pada seluruh undangan. Pengantin, keluarga dan seluruh undangan pun makan bersama saat itu.



Acara pun berangsur bubar sesaat setelah semua orang selesai makan. Banyak yang mulai berpamitan pada pemilik acara. Untuk itu pengantin dan orang tua berpindah berbaris di depan gerbang masuk, menerima (sekali lagi) ucapan selamat dan pamit dari tamu-tamu. Sementara kelompok campur sari mulai mengalunkan dangdut 'si musik rakyat' dan mengundang para pemuda untuk berjoget didepan panggung, menandakan acara jagongan hari itu berakhir pula.

Saya dan suami pun beranjak pulang. Dalam perjalanan ke Jogja saya menyadari bahwa ada ribuan tata cara pesta pernikahan telah diterapkan oleh berbagai suku di Indonesia. Semuanya memungkinkan setiap penyelenggara pesta untuk sedapat mungkin memilih tata cara yang sesuai dengan keadaannya.

Menyadari bahwa budaya seringkali mengacu pada tren saat ini adalah sungguh menyedihkan. Kini saya mengerti, mengapa begitu banyak orang memilih mengadakan pernikahan di kampung halamannya? Mereka merasa berada ditempat ternyaman, tempat dimana mereka tidak dikendalikan oleh standar-standar berupa jumlah undangan, kualitas katering, ketersediaan gedung, menariknya foto pra wedding, dan jenis souvenir.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

yak bener, menikah di kampung halaman hilang tu semua standar yg pernah kita kenal di kota. nice post ni

chonie mengatakan...

Terima kasih sudah mampir di Jendela Chonie, Ndrik. Ditunggu peluncuran blog pribadimu itu...
;-P