Kamis, 21 Juni 2012

Seni Instalasi FKY 2012

Pemberani
Noor Ibrahim (2011)
400x350x250cm
Logam Besi dan Cat Minyak

Menjelang akhir minggu yang lalu, dalam rangka gelar FKY 2012, belasan karya seni istalasi telah menghiasi jalan Malioboro hingga titik Nol Kilometer DI Yogyakarta. FYK merupakan salah satu hajatan paling ditunggu di Yogyakarta, terkait keistimewaannya dalam kesenian dan kebudayaan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, salah satu kegiatan FKY adalah memajang sejumlah karya seniman di ruang publik.

Berbekal sebuah kamera, saya berniat untuk mendokumentasikan rangkaian karya seni ruang publik FKY tahun ini. Sayangnya, pada hari yang sama, kawasan Malioboro hingga titik Nol kilometer dipenuhi oleh banyak sekali turis domestik, sehingga tidak seluruh karya seni tersebut berhasil saya dokumentasikan. Sebuah cerita unik berhasil saya simpan dari perjalanan yang tak lebih dari satu kilometer ini. Namun sebelumnya, mari mengambil waktu sejenak untuk menikmati hasil pendokumentasian saya sore itu;


Ledhek
Yulhendri (2012)
190x100x75cm
Polyresin

Ayam yang Gagah
Timbul Rahardjo (2009)
250x170x80cm
Logam Ring dan Galvanis

Menatap Pintu Semesta
Purjito (2009)
220x100x100cm
Kayu dan Polyresin

Satu Arah
Pambudi Sulistio (2012)
163x200x40cm
Polyresin

Dreamer
Wahyu Santoso (2010)
265x105x65cm
Polyresin (Model untuk Perunggu)

Diujung Jari
Dicky Candra (2011)
120x50x178cm
Polyresin

Merenung
Dunadi (2011)
300x300x250cm
Polyresin

Becakku Tak Berhenti Lama
Nasirun (2012)
Becak asli
Mix Media Besi, Kayu, dll

Post Sofa
Rifqi Sukma (2008)
200x80x80cm
Besi, Kayu, dll

Thinker
Timbul Rahardjo (2012)
150x150x100cm
Logam Paku & Melamin

Pekerja
Noor Ibrahim (2011)
300x550x150cm
Logam Besi & Melamin

Born Stefan Buana (2011)
300x165x30cm
Polyresin

Perjalanan menelusuri jalan Malioboro hingga perempatan Benteng Vredeburg ini berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Selama memotret satu demi satu karya seni, saya harus mengantri dengan kurang lebih sepuluh orang lainnya untuk setiap karya seni. Yang menarik adalah, selain saya, orang lain yang ikut mengantri memotret adalah mereka yang memotret dirinya, temannya, pasangannya atau keluarganya dengan si karya seni sebagai latarnya. Saya mengamati bahwa, sepanjang tiga jam tersebut, saya adalah satu-satunya orang yang memotret karya-karya tersebut secara terpisah, tunggal dan berdiri sendiri. Dengan kata lain, secara dangkal, ada begitu banyak orang hanya menganggap karya seni tersebut sebagai sarana narsisme. Mereka memanfaatkan sebuah karya yang dibangun dari hasil perenungan dalam, hanya sebagai sesuatu yang cukup menarik untuk mereka tampilkan di 'profile picture' dunia maya. Mudah ditebak bukan? Sungguh menyedihkan.

Sore itu, hanya dua puluh persen dari ribuan manusia Indonesia di jalan itu yang membaca detail keterangan setiap karya seni. Itu berarti, hanya dua puluh persen orang yang ingin tahu makna, cerita, material dan seniman dibalik karya seni tersebut. Sisanya hanya menjadikan setiap karya seni sebagai badut bisu yang dapat diajak 'foto bareng'. Beberapa dari mereka bahkan dengan sengaja tak mengindahkan peringatan 'dilarang duduk' atau 'jangan disentuh' yang dicantumkan panitia. Adakah perilaku masyakat berbudaya yang lebih memalukan dari ini?

Demikianlan kita dapat dengan mudah menyimpulkan, seberapa besar penghargaan setiap individu atas budaya dan karya seni buatan anak bangsa. Lalu beberapa hari kemudian merebaklah berita mengenai pengakuan bangsa lain terhadap satu dari kebudayaan kita. Jutaan protes telah kita layangkan lewat status facebook, twitter, tumblr dan forum-forum lain. Pikirkan lagi! Sudah seberapa tinggi kita menghargai karya anak negeri yang nyata-nyata ada di depan mata?

1 komentar:

Unknown mengatakan...

thanks dgn liputannya yg- segerr,..
salam rock n rool dari barak seni stefan.