Rabu, 15 Februari 2012

Catatan di Bulan Cinta


Bulan Februari pun datang, bulan yang terkenal dengan Valentine's Day atau hari kasih sayang. Saya tidak kenal siapa St Valentino. Tapi saya kenal yang namanya kasih sayang. Bahkan rasanya saya mengenal dengan baik kasih sayang itu.

Saya tidak merasa harus mempersiapkan apa-apa untuk hari kasih sayang ini, sebab saya dan suami merayakan kasih sayang setiap hari. Saya hanya perlu mempersiapkan diri untuk menikmati logo hati teraplikasi dalam coklat, bantal, boneka, cake atau apapun yang tersebar rata di dunia ini. Dapat dikatakan, bulan ini kita akan melihat logo hati dimana-mana.


Terlepas dari pro dan kontra perayaan hari kasih sayang di negara Indonesia, 'hati' kiranya menjadi tujuan akhir dari perayaan kasih sayang. Semua pernak-pernik, momentum acara di hari ini dibuat semata-mata untuk menyentuh hati satu atau sekelompok orang. Dan bicara tentang hati, saya jadi teringat peristiwa beberapa hari lalu, yang nyata-nyata telah demikian melibatkan hati saya.

Saya dan suami sedang berada di sebuah resepsi pernikahan kerabat kami. Kami sedang menikmati hidangan yang tersaji secara prasmanan dan sambil sesekali membahas ini dan itu yang menarik perhatian kami.

Sesaat kemudian kami menghampiri meja yang berisi beberapa jenis minuman. Saya dan suami memilih minuman yang berbeda, saya memilih yang disebelah kanan sedangkan suami memilih yang disebelah kiri. Saya menunduk untuk meraih gelas minuman yang saya inginkan lalu meneguk beberapa kali minuman tersebut sambil mengangkat pandangan saya lurus ke depan. Maka tampaklah pemandangan itu.

Seorang bapak berusia separuh baya sedang memukul dengan keras kepala bagian belakang petugas katering yang sedang mengisi ulang tabung minuman diseberang sana. Bapak itu lantas membentak petugas katering itu dengan satu kata yang tidak dapat saya dengar karena riuh suara pesta.

Petugas katering yang saya ceritakan ini adalah seorang anak remaja, usianya kira-kira tak lebih dari delapan belas tahun. Anak itu merespon pukulan bapak tersebut dengan wajah memerah, menahan sakit dan malu. Ia lalu berpura-pura sibuk dengan berputar memeriksa satu per satu tabung minuman untuk menutupi rasa malunya. Satu-dua kali ia melirik dengan rasa takut, memastikan dirinya telah selamat dari amarah bapak tadi. Wajah letihnya masih menahan malu sampai pada giliran tabung minuman yang berada persis didepan saya. Ia lalu memberanikan diri membasuh peluh di wajah takutnya dengan ujung lengan setelah bapak tadi berbalik, melempar senyum manis nan palsu, memberi salam kepada seorang tamu dibelakangnya dan bergerak menghilang dibelakang panggung.

Dari seragamnya kemudian saya menduga bahwa bapak itu adalah bagian dari katering itu, hanya saja lebih senior atau barangkali pangkatnya lebih tinggi. Saat itu saya yakin beberapa orang menyaksikan adegan itu, namun sedetik kemudian tak peduli. Semua larut dalam pesta dan mungkin saja merasa tidak ada yang berarti dengan kejadian itu. Tak ada yang tahu, kejadian itu menyisakan keterkejutan luar biasa pada diri saya.

Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik, namun sanggup membuat jantung saya berdebar sangat kencang karena terkejut dan otak saya penuh-sibuk mengolah sepenggal kisah itu. Tubuh saya gemetar dan pandangan saya tak henti mengawasi dua pelakon cerita tadi. Selama beberapa detik saya tidak dapat menyimak apa yang dibicarakan suami saya (yang saat itu sudah menghampiri saya lagi). Dengan sejuta pemberontakan, pikiran saya mengajukan protes dalam beberapa pertanyaan;

Apa itu tadi?
Benarkah seseorang baru saja memukul dan memaki dengan begitu keras dalam pesta ini?
Apakah seseorang pantas dipermalukan seperti itu?
Bahkan kutu busuk para koruptor pun tak merasakan hal seburuk itu.
Orang tua itu. Astaga apakah ia tak rasa punya malu?
Tak dapatkah ia menjaga kehormatannya dengan menahan amarahnya?
Lalu sedang apa dia sekarang?
Oh lihat! Sekarang dia mampu tersenyum lebar.
Tangannya menyalami tamu terhormat itu.
Bukankah tangan itu baru saja memukul orang?
Bukankah bibir yang tersenyum itu baru saja mengumpat?
Tamu-tamu lainnya? Apakah mereka buta?

Apa kabar dengan hati saya? Entah. Tapi bukankah jantung yang berdebar ini pertanda hati saya telah terluka? Bukankah tangan yang menahan diri untuk tidak melempar gelas kepada bapak tadi adalah simbol kemarahan? Dan bukankah kemarahan itu berasal dari hati yang kecewa? Sebab sebuah ketidakadilan sedang terjadi dan saya tak mampu berbuat apa-apa.

Beberapa detik kemudian saya berhasil mengumpulkan tenaga untuk mengadu kepada suami saya. Setelah mendengar cerita saya, suami saya yang sangat hafal akan respon hati saya dalam menanggapi kejadian seperti ini, langsung menepuk-nepuk pundak saya. Semenit kemudian ia mengambil inisiatif untuk menyapa anak (petugas katering) tadi dan bertanya;

"Kamu tadi dipukul orang itu. Ngga kenapa - kenapa?"
Dengan ekspresi setengah terkejut, karena mungkin tak menyangka ada yang peduli, anak itu menjawab, "Nggak kok Mas. Nggak apa-apa."

Ajaibnya, percakapan inisiatif suami itu berhasil melambatkan debaran jantung saya, menenangkan hati saya, membebaskan pikiran saya. Saya melihat rasa terhibur di kedua mata anak itu ketika mendapati perhatian yang ditunjukkan suami saya. Saya bahkan menangkap itu juga sebagai penghiburan bagi hati saya yang baru saja terluka.

Hari ini ketika saya renungkan kembali. Kejadian-kejadian seperti itu ternyata telah menge test daya tangkap hati saya. Saya mendapati bahwa sinyal di hati saya ternyata tidak tumpul dalam menangkap kejadian seperti itu. Saya sama sekali tidak memandang kejadian seperti itu wajar. Saya sama sekali tidak berpikir bahwa begitulah cara yang tepat untuk mendidik seorang pekerja (yaitu dengan mempermalukannya). Saya telah berontak terhadap kesewenang-wenangan. Hati saya masih berfungsi dengan baik.

Sebagian kita menyebut bulan ini bulan penuh kasih sayang dan hati adalah perangkat utama untuk merasakan kasih sayang itu. Lalu apakah hati kita cukup tajam untuk menangkap berbagai ketidakadilan yang lalu lalang didepan mata kita.

Peristiwa-peristiwa seperti diatas kadang menjadi alat Yang Maha Kuasa untuk mendeteksi kinerja hati kita. Kalau begitu, pernahkah kita (meski dalam bentuk yang berbeda-beda) mengalami kejadian serupa diatas? Seberapa sering?

Jika kita bahkan tidak bisa menangkap kejadian-kejadian seperti itu, bukankah itu berarti ada kerusakan dengan hati kita? Dan jika demikian... Dengan perangkat apa kita dapat merayakan hari, bulan ... atau malah tahun-tahun kasih sayang?



Tidak ada komentar: