Jumat, 13 Januari 2012

Ronggeng Dukuh Paruk; Sebuah Resensi Pribadi

Apakah kalimat ini terdengar tak asing bagi anda? Tentu saja. Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel yang menginspirasi sebuah film berjudul 'Sang Penari' yang baru-baru ini menjadi buah bibir dan menuai banyak penghargaan di salah satu ajang apresiasi film nasional. Pemeran utama wanitanya (Prisia Nasution) juga ikut-ikutan menuai banyak pujian akibat peran 'ronggeng' nya di film ini. Walaupun sangat disayangkan pujian itu hanya bertahan beberapa minggu karena ternyata masyarakat lebih tertarik membahas kasus perceraiannya.

Jika anda sudah 'dong' mengenai buku yang saya maksud, maka saya akan memperlengkapinya dengan dua buah gambar cover buku tersebut (sebelum dan sesudah film dirilis) di bawah ini;


Anda yang sering ke toko buku pasti mengetahui kedua buku yang hanya berbeda gambar sampul ini, karena saat ini buku ini ada dalam susunan buku-buku 'rekomendasi' pada toko-toko buku terkemuka di Indonesia. Percayalah bahwa hal ini tidak terjadi sebelum filmnya dirilis. Buku ini hanyalah bagian kecil dari deretan novel-novel lokal, pada bagian 'rak' yang tidak strategis. Ia bergabung dengan kisah-kisah pewayangan dan literatur lokal yang tak banyak dilirik orang. Bukankah hal ini wajar terjadi di tanah air kita ini? Masyarakat yang telah terbiasa menjadi Thomas yang 'tidak percaya sebelum melihat'.


Saya sendiri telah sekian lama mengincar buku ini, bahkan sebelum saya tahu bahwa ada yang membuat filmnya. Saya baru mengetahui bahwa film Sang Penari terinspirasi dari novel ini setelah terbit cetakan terbaru (yang menurut saya lebih mirip poster film) dengan wajah Prisia Nasution dan Oka Antara di sampul depan dan belakangnya. Saat itu kebetulan saya baru punya kesempatan untuk membeli (lebih tepatnya - dibelikan) buku Ronggeng Dukuh Paruk. Maka tergopoh-gopohlah saya mencari cetakan dengan sampul jingga nan nyentrik itu (yang ternyata lebih banyak diminati ketimbang yang baru).

Oleh sebab itu dengan sangat menyesal saya sampaikan bahwa kali ini saya akan mengomentari novelnya (Ronggeng Dukuh Paruk) dan bukan filmnya (Sang Penari). Sebab sejujurnya, saya belum menonton filmnya. Bagi saya secara fisik kecantikan Prisia Nasution tidak cukup untuk menggambarkan sosok ronggeng Srintil dengan tubuh mungil, payudara 'penuh', senyum menggoda dan cekungan mata yang dalam seperti yang digambarkan didalam novel. Alhasil, saya jadi tidak berselera untuk menonton filmnya, setelah membaca novelnya.

Secara singkat novel ini bercerita mengenai seorang wanita bernama Srintil yang sejak kecil dipercaya oleh penduduk desanya telah dirasuki indang ronggeng dan berhak untuk mengemban tugas menjadi ronggeng berikutnya. Srintil kemudian tumbuh dalam pelatihan dan prosesi-prosesi menjadi seorang ronggeng dan dicintai oleh seluruh penduduk desa. Kemasyuran dan kecantikannya terdengar hingga kemana-mana.

Dalam kemasyurannya Srintil harus menghadapi berbagai tekanan dari para pria yang 'menginginkannya'. Dilain pihak dengan gelar 'ronggeng' yang disandangnya, ia harus mengubur impiannya untuk berkeluarga dan memiliki seorang suami. Bagaimana tidak? Ronggeng adalah 'milik semua pria'. Hingga suatu ketika, konflik politik tahun 1965 menggiring Srintil dan kelompok calungnya ke penjara, karena dianggap provokator. Saat sudah bebas pun, Srintil yang berniat untuk menutup kehidupannya sebagai ronggeng dan memulai kehidupan baru, malah berulang kali dipermalukan oleh musuh-musuhnya.

Ronggeng Dukuh Paruk telah mendongengkan dengan baik bagaimana kedudukan seorang ronggeng dalam masyarakat, pada waktu itu. Ronggeng telah menjadi bagian, bahkan mata pencaharian bagi beberapa desa. Fungsi ronggeng dalam masyarakat tidak pernah jauh dari urusan syahwat para pria. Seperti berulang kali disebutkan oleh Ahmad Tohari, bahwa ronggeng adalah 'milik semua pria'. Pria manapun dapat mencoleknya dan bagi mereka yang sanggup membayar, boleh meminta 'lebih'.

Namun yang menarik, fungsi yang digambarkan demikian 'kotor' pada kenyataannya tidak membuat posisi ronggeng terbelakang dalam masyakarat. Ronggeng malah cenderung menjadi idola para perempuan, lambang kecantikan dan kemolekan yang begitu sulit ditandingi. Ronggeng dan kelompok calung disambut layaknya aktris papan atas saat akan manggung disuatu desa. Semua orang berlomba-lomba memfasilitasi seorang ronggeng; membelikan kosmetik, mengolahkan makanan, mencucikan baju dan sebagainya. Bagi desanya sendiri, ronggeng merupakan simbol kejayaan.

Ronggeng Dukuh Paruk membawa kita pada sebuah masa dimana bangsa kita diwarnai oleh desa-desa terbelakang dengan gaya hidup yang tergantung pada alam, adat dan mistik. Secara detail digambarkan aktifitas masyarakat pada masa itu yang sarat dengan nilai-nilai sosial yang mereka anut. Hal-hal inilah yang banyak dilewatkan oleh buku-buku sejarah kita, yang hanya mengulas akan apa yang terjadi di ibukota dan kota-kota perjuangan lainnya.

Karakter - karakter yang dibangun begitu kuat sehingga plot apapun yang dipasang dalam cerita tidak mengurangi nilai sebuah karakter. Seperti halnya dongeng, cukup jelas antara antagonis dan protagonis. Namun kejelasan itu sendiri sesuai dengan konteks masa yang menjadi dasar cerita. Mengagumkan bahwa karakter-karakter tersebut telah mewakili banyak pihak dari masa itu. Mulai dari kepala adat hingga kontraktor, dari ibu pejabat hingga nenek miskin, dari penduduk asli hingga peranakan dan sebagainya.

Ajaibnya, Ahmad Tohari berhasil membungkus semua itu dalam sebuah roman yang kaya akan kebutuhan hakiki seorang manusia. Sebuah simbol adat tidaklah dapat berwujud manusia. Sebab betapa besar pun iming-iming kebudayaan atas seseorang untuk dijadikan simbol, tetap tak dapat menguasai kebutuhan hakiki jiwa manusia. Bahwa kebudayaan memiliki kesempatan besar untuk merenggut 'hidup' seseorang, telah tertuang manis dalam Ronggeng Dukuh Paruk.

Sebagaimana yang kita ketahui, objek wanita pada masa lampau telah menjadi objek yang mampu menggambarkan peradaban. Sebab tak seperti masa kini dimana peran perempuan telah demikian luas dalam masyarakat, pada masa lampau peran perempuan sangat minim; yaitu hanya seputar dapur dan ranjang. Nah, menariknya dalam peran yang sedikit ini beberapa wanita dan kelompoknya telah secara langsung maupun tidak membuat 'penanda' jaman dan peradaban.

Para ronggeng seperti Srintil, para penghuni Rumah Geisha di Jepang, perempuan-perempuan 'Ca Bau Kan', para selir seperti Wu Zetian adalah unsur-unsur minor dalam sebuah peradaban. Mereka menjadi menarik untuk dibahas karena dari unsur-unsur minor tersebutlah, unsur-unsur mayor sebuah peradaban dapat dinilai dengan jelas. Dari unsur-unsur minorlah dapat diketahui dapur dari sebuah pemerintahan, lemahnya sebuah sistem, bobroknya moralitas dan celah dari sebuah kebudayaan.

Nah, jika anda tertarik untuk menikmati romansa sambil menilik sisi minor dari sebuah peradaban, Ronggeng Dukuh Paruk dapat menjadi salah satunya. Hanya saja kali ini anda tak perlu lintas negara dan lintas budaya, karena kali ini latarnya adalah potret peradaban negeri kita sendiri; Indonesia.

Kurang lebih dua hari waktu yang saya butuhkan untuk 'melumat' buku ini. Begitu singkat? Bagi saya itu pertanda buku ini menarik, sebab saya hampir tak dapat berhenti membacanya. Perasaan saya ketika mengarungi bab demi bab buku ini mengingatkan saya akan perasaan saya ketika membaca novel Memoar of Geisha karangan Arthur Golden. Yaitu rasa kagum takjub pada detail latarnya, hanyut dalam kisahnya, dan emosional pada nilai-nilai yang dikandungnya. Rasanya novel Memoar of Geisha belum ada tandingannya, sampai saya menemukan Ronggeng Dukuh Paruk. Dan sungguh menyenangkan menemukannya dalam karya Ahmad Tohari, seorang anak bangsa. Lantas layakkah kedua buku ini disejajarkan? Bagi saya; Layak.

1 komentar:

Rahma mengatakan...

ok..that's it. Ronggeng Dukuh Paruk masuk dalam list to buy!