Rabu, 13 Maret 2013

Siluet, Palet Warna, Hingga Penyambung Hidup Rakyat


Menjadi sebuah industri film yang hidup di Indonesia tidaklah mudah. Beban yang ditanggung tidaklah sedikit, namun tugas yang dijalankan tak kurang mulia. Setiap fungsinya berhubungan erat dengan bangsa dimana ia bernaung. Sebagaimana pribadi seorang manusia melambangkan asal-usulnya, demikian industri film melambangkan bangsanya. 

Meski tak punya beban untuk menjadi seperti industri film mana pun di dunia ini. Film Indonesia tetaplah harus tumbuh dan mencari inspirasi tentu tidak ada salahnya. Tapi Hollywood, rasanya tidak terlalu aplikatif. Beberapa industri film serumpun yang memiliki nilai-nilai serupa telah lebih dahulu lepas landas dan mencapai ketinggian maksimum. Mereka telah dicintai masyarakatnya sendiri dan dunia. Merekalah industri film India (biasa disebut Bollywood) dan industri film Hongkong.

Kemiskinan, kepadatan penduduk, bencana alam dan konflik adalah hal-hal yang tak bisa lepas dari perbincangan tentang India. Tapi ada satu hal lagi yang tidak pernah dilupakan dunia tentang negara itu; Bollywood. Merupakan sebutan non-formal bagi industri film yang berbasis di kota Mumbai, India. Produk-produk Bollywood merupakan proyek-proyek milyaran dollar dan beberapa diantaranya adalah biaya produksi terbesar di dunia. 

Sebagai bagian dari sebuah negara besar seperti Cina, Hongkong hanya kebagian wilayah 1104km2. Sumber daya alam dan sumber daya manusia mungkin menjadi masalah untuk membangun industri perfilman. Tapi kenyataannya industri perfilman Hongkong tetap berkembang. Pengaruhnya menyebar hingga ke Hollywood.

Hingga saat ini, puluhan produk dari kedua industri ini telah menjadi langganan dalam nominasi penghargaan film internasional. Apa yang menjadi kunci keberhasilan mereka dalam mempengaruhi industri film dunia? Identitas adalah jawabannya. Kedua industri ini berdiri tegap dibalik identitas bangsa dan masyarakatnya. Hal yang sama juga dapat menjadi jawaban dari pertanyaan; Mengapa film Indonesia harus tetap ada? Untuk menampilkan identitas bangsa.

Apa yang dapat menjadi identitas bangsa Indonesia saat ini? Politiknya telah keruh oleh korupsi, alamnya telah semakin rapuh dan rusak, perekonomiannya telah tenggelam oleh hutang. Film adalah salah satu harapan karena merupakan bahasa seni-budaya yang digemari dan mudah dimengerti oleh siapapun. Naskah-naskah film akan mengemas permasalahan bangsa ini menjadi cerita menarik kaya makna dan identitas bangsa mengalir dari sana. Berikut adalah beberapa unsur yang harus diperhatikan oleh industri film Indonesia dalam mengusung identitas bangsa.

Siluet, palet warna dan gelombang suara adalah hal-hal yang diterima indera kita dari suatu tempat dan tidak kita temukan ditempat lain adalah identitas awal yang harus ditemukan. 

Apa yang muncul dalam benak ketika kita berbicara tentang India? Kubah Taj Mahal yang megah, wanita dengan ukiran mehdi ditangannya, kuil-kuil Hindu, dan sebagainya. Siluet India dapat dengan mudah tergambar disana. Palet warnanya adalah merah, hijau, kuning, jingga dan biru mentah yang mewakili aneka warna kain sari dan sindur yang tak pernah lepas dari kehidupan masyarakat India. Gelombang suaranya adalah tabuhan gendang, alunan suling India yang khas, serta mantra-mantra para pendeta Hindu. Kira-kira demikian contohnya.

Sudahkah film Indonesia menemukan bentuk, palet warna dan gelombang suara? Berbagai riset mungkin perlu dilakukan, tapi tidak ada yang lebih akurat dari rasa seseorang yang pernah 'mengalami Indonesia'. Para sineas hanya perlu memejamkan mata, menajamkan rasa dan bertanya pada diri sendiri; Apa yang muncul dalam benak ketika berbicara tentang Indonesia? Stupa Candi Borobudur, suara adzan yang menggema, pasar apung di sungai-sungai Kalimantan, alunan seruling Sunda, pria bersarung di dalam pos ronda, dan seterusnya, bisa menjadi dasar perumusan bentuk, palet warna dan gelombang suara. 

Film adalah cermin budaya. Saat mengusung identitas bangsa, kejujuran merupakan unsur penting. Dalam kasus industri film Indonesia, fiksilah yang harus menggaris-bawahi ini. Perlukah berbikini ria saat scene berlibur di pantai? Sementara pada kenyataannya sebagian besar orang Indonesia berpakaian lengkap saat bermain di pantai. Perlukah kisah-kisah dengan set di luar negeri? Sementara hanya segelintir masyarakat Indonesia yang memiliki Paspor. Bagaimana identitas bangsa dapat terkuak dengan semua kebohongan itu?

Film adalah gambaran hidup masyarakatnya. Industri Bollywood tak pernah melupakan upacara-upacara Hindu karena hal itu melekat pada hidup sebagian besar rakyat India. Film-film Hongkong hampir tak pernah jauh dari tempat perjudian karena memang permainan kartu dan segala jenis taruhan ada dalam budaya berkumpul orang Cina. Film-film Asia seharusnya tak lepas dari konflik-konflik keluarga, karena memang besar sekali peran keluarga bagi semua rumpun di Asia. 

Teknologi dan ilmu pengetahuan adalah keunggulan negara-negara barat, apa istimewanya jika kita juga mengulas hal yang sama? Fokus pada apa yang kita miliki adalah dapat menjadikan sebuah industri kuat, ketidak-jujuran hanya akan mengaburkan pandangan dunia atas identitas bangsa.

Film sebagai pernyataan bangsa. Siapapun tahu bahwa Perang Vietnam melawan Amerika (1959-1972) dimenangkan oleh Vietnam. Tapi tidak demikian menurut film Rambo 'First Blood' (1982) dan Rambo 'First Blood Part 2' (1985). Dalam kedua film produksi Hollywood itu seorang tokoh bernama John Rambo menjadi pahlawan bagi negaranya (Amerika Serikat) dan dunia, dengan mengalahkan sejumlah besar tentara Vietnam seorang diri. Aksi-aksi heroik Rambo menyihir dunia dan mengaburkan kenyataan bahwa Amerika Serikat telah kalah dalam perang tersebut.

Film 'New York' (2009) dan Film 'My Name Is Khan' (2010) produksi India adalah pernyataan kebenaran oleh orang-orang Muslim India yang bermukim di Amerika Serikat atas perlakuan-perlakuan tidak adil yang mereka alami setelah kejadian “11/11”. Kedua film ini mampu membuat penduduk dunia mengganti kacamata mereka dalam memandang aksi teror tersebut. Ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah film berhasil menyuarakan apa yang ingin dikatakan oleh bangsanya.

Sejauh ini, film Indonesia baru sampai pada level 'berbisik' saat berbicara atas nama bangsa. Suara yang cukup keras terdengar hanya bersifat nasional, hanya bergerak pada isu antar agama, antar suku, antar golongan, dan kritik terhadap pemerintah. Film BATAS (2011) dan 'Tanah Surga Katanya' (2012) hanya mampu melelehkan air mata dan memancing nasionalisme. Film 'Minggu Pagi di Victoria Park' (2010) hanya mengungkap masalah tanpa solusi. Bahkan beberapa film Indonesia berhasil memenangkan festival internasional hanya karena berani menonjolkan dua konten sexy diindustri hiburan, yaitu asusila dan kemelaratan. 

Lebih dari itu industri ini harus menyuarakan sesuatu sebagai pernyataan sikap bangsa ketika budaya kita dicuri, sumber daya kita dikuras atau ketika globalisme membuat kita mati pelan-pelan. Bukan berarti tidak ada film Indonesia yang menyuarakan hal-hal tersebut. Tapi jika dunia internasional tidak tersentak dan masih adem-ayem saja, maka mungkin suaranya 'kurang jelas' atau 'kurang keras', bukan?
Film sebagai penyambung hidup rakyat. Salah satunya adalah dengan cara regenerasi insan perfilman. Semakin deras arus regenerasi insan perfilman berarti semakin banyak kepala yang merumuskan identitas bangsa. Semakin sedikit insan perfilman, maka identitas yang dirumuskan, bisa jadi, hanya berdasarkan pemikiran dan kepentingan segelintir orang. Industri film Indonesia punya banyak pekerjaan rumah dalam hal regenerasi. Peran utama dalam sebuah film bisa saja dihiasi wajah-wajah baru, tapi para pemeran pembantu, yang kebutuhannyalebih banyak dari pemeran utama, diisi oleh wajah yang itu-itu saja. Satu orang aktor, dalam setahun bisa bermain dalam lebih dari dua film dengan jenis peran yang mirip. Misalnya; di film A sebagai Bapak, di film B sebagai Paman, dan di film C sebagai Pak Guru. Sangat membosankan.

Selain menemukan, film juga dapat memberikan identitas baru bagi bangsa. Masih segar di ingatan kita bagaimana film Laskar Pelangi (2008) mengubah sebuah retuntuhan tambang timah , menjadi objek wisata bertaraf internasional baru. Kita berharap akan muncul lebih banyak pulau beruntung seperti Belitong, terangkat keberadaannya melalui sebuah film.
Manusia tanpa kartu identitas, jangankan berpengaruh, didengarkan saja tidak. Film Indonesia memiliki kesempatan bicara dimata dunia. Tapi sebelumnya, ia harus menemukan identitasnya dahulu, jika tak ingin diabaikan sepanjang eksistensinya.

**********

Tidak ada komentar: